Selain sebagai Nabi dan Rasul,
Muhammad Saw adalah seorang pendidik. Sebagai seorang pendidik terbukti
Rasulullah telah berhasil mengubah bangsa Arab yang bertabiat kasar menjadi
rahib di malam hari, dan para penunggang kuda yang tangguh di siang harinya. Mereka
satu sama lain saling mencintai, seperti kecintaan terhadap diri mereka
sendiri. Mengutamakan orang lain melebihi dirinya, meski mereka sangat
membutuhkannya. Sampai-sampai lawan dan kawan memberikan pengakuan atas
perilaku agung mereka. Begitu juga Allah Swt, Dzat Yang Menciptakan mereka,
telah menyematkan gelar “umat terbaik” yang dilahirkan untuk manusia; mereka
senantiasa menegakkan kemakrufan, mencegah kemunkaran dan beriman kepada Alla
Swt.
Kesuksesan Rasulullah dalam mendidik bangsa Arab, selain dengan strategi pendidikan yang jitu, tentu tidak lepas dari sifat-sifat teladan beliau sebagai seorang pendidik. Profesor Doktor Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, “Dirasah Tahliliyah li Syakhsiyyah ar-Rasul Muhammad”,menjelaskan setidaknya ada delapan sifat Rasulullah yang harus jadi teladan para pendidik agar sukses dalam mendidik masyarakat.
Pertama, Kasih Sayang
Sifat ini wajib dimiliki oleh setiap pendidik. Karenanya, orang yang hatinya keras, tidak layak menjadi pendidik. Sebab, kasih sayang ini merupakan perasaan sensitif yang secara otomatis bisa mendorong pendidik untuk tidak suka meringankan beban orang yang dididiknya.
Ketika membicarakan sifat-sifat Rasulullah saw, kita akan menyaksikan, bagaimana beliau memendekkan shalatnya ketika mendengar tangis anak kecil di belakang shaf (barisan), karena kasih sayang beliau kepada ibunya yang merasakan kepedihan tangis anaknya.
Kita juga bisa menyaksikan bagaimana beliau telah menerima penganiayaan orang-orang musyrik Makkah, dan di Thaif pun beliau mendapatkan hal yang sama, ketika beliau didatangi malaikat penunggu gunung agar diperintahkan untuk menghancur leburkan suku Tsaqif, yang telah menghina dan menganiaya beliau, maka perasaan kasih sayang yang memenuhi kalbu beliau, sang pendidik agung itu pun tergerak, kemudian beliau mengubah adzab dengan doa untuk mereka, “Semoga Allah melahirkan dari generasi mereka, orang yang menyembah-Nya.”
Anas bin Malik juga pernah berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang begitu menyayangi keluarganya, melebihi Rasulullah saw.”
Kedua, Sabar
Sabar adalah bekal setiap pendidik. Setiap pendidik yang tidak berbekal kesabaran, ibarat musafir yang melakukan perjalanan tanpa bekal. Bisa jadi dia akan celaka, atau kembali.
Jika kita menelusuri biografi sang pendidik agung, Nabi saw ini, kita akan melihat bahwa beliau merupakan lambang kesabaran yang patut dikibarkan, sabar terhadap penganiayaan kaumnya yang dilakukan terhadap tubuh beliau, juga penyiksaan mereka terhadap nyawa beliau, sampai urusan (yang beliau emban) itu nampak jelas di hadapan mereka, dan kecemerlangan tujuan beliau pun terlihat dengan jelas di depan mata mereka. Maka, kebencian mereka kepada beliau pun berubah menjadi cinta, dan penganiayaan mereka berubah menjadi kasih sayang.
Ketiga, Cerdas
Seorang pendidik harus pandai dan cerdas (fathanah), sehingga dia bisa menganalisis masalah obyek didiknya yang sangat rumit. Jika masalah tersebut baik, dia bisa menjadikannya sebagai cara terbaik bagi obyek didik tersebut untuk mengembangkannya. Dan jika masalah tersebut buruk, dia bisa memilih cara terbaik untuk menyelesaikannya. Dia juga bisa menganalisis apa yang relevan dan tidak dengan obyek didiknya. Dia juga bisa memahami emosi jiwanya dengan melihat raut mukanya. Juga bisa memahami perbedaan-perbedaan pribadi di antara mereka yang begitu rumit. Sebab, tugasnya adalah menyelami relung jiwanya melalui perbedaan-perbedaan tersebut, atau memanfaatkannya dengan maksimal untuk mengarahkan tiap individu pada hal-hal yang bisa diraihnya.
Kesuksesan Rasulullah dalam mendidik bangsa Arab, selain dengan strategi pendidikan yang jitu, tentu tidak lepas dari sifat-sifat teladan beliau sebagai seorang pendidik. Profesor Doktor Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, “Dirasah Tahliliyah li Syakhsiyyah ar-Rasul Muhammad”,menjelaskan setidaknya ada delapan sifat Rasulullah yang harus jadi teladan para pendidik agar sukses dalam mendidik masyarakat.
Pertama, Kasih Sayang
Sifat ini wajib dimiliki oleh setiap pendidik. Karenanya, orang yang hatinya keras, tidak layak menjadi pendidik. Sebab, kasih sayang ini merupakan perasaan sensitif yang secara otomatis bisa mendorong pendidik untuk tidak suka meringankan beban orang yang dididiknya.
Ketika membicarakan sifat-sifat Rasulullah saw, kita akan menyaksikan, bagaimana beliau memendekkan shalatnya ketika mendengar tangis anak kecil di belakang shaf (barisan), karena kasih sayang beliau kepada ibunya yang merasakan kepedihan tangis anaknya.
Kita juga bisa menyaksikan bagaimana beliau telah menerima penganiayaan orang-orang musyrik Makkah, dan di Thaif pun beliau mendapatkan hal yang sama, ketika beliau didatangi malaikat penunggu gunung agar diperintahkan untuk menghancur leburkan suku Tsaqif, yang telah menghina dan menganiaya beliau, maka perasaan kasih sayang yang memenuhi kalbu beliau, sang pendidik agung itu pun tergerak, kemudian beliau mengubah adzab dengan doa untuk mereka, “Semoga Allah melahirkan dari generasi mereka, orang yang menyembah-Nya.”
Anas bin Malik juga pernah berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang begitu menyayangi keluarganya, melebihi Rasulullah saw.”
Kedua, Sabar
Sabar adalah bekal setiap pendidik. Setiap pendidik yang tidak berbekal kesabaran, ibarat musafir yang melakukan perjalanan tanpa bekal. Bisa jadi dia akan celaka, atau kembali.
Jika kita menelusuri biografi sang pendidik agung, Nabi saw ini, kita akan melihat bahwa beliau merupakan lambang kesabaran yang patut dikibarkan, sabar terhadap penganiayaan kaumnya yang dilakukan terhadap tubuh beliau, juga penyiksaan mereka terhadap nyawa beliau, sampai urusan (yang beliau emban) itu nampak jelas di hadapan mereka, dan kecemerlangan tujuan beliau pun terlihat dengan jelas di depan mata mereka. Maka, kebencian mereka kepada beliau pun berubah menjadi cinta, dan penganiayaan mereka berubah menjadi kasih sayang.
Ketiga, Cerdas
Seorang pendidik harus pandai dan cerdas (fathanah), sehingga dia bisa menganalisis masalah obyek didiknya yang sangat rumit. Jika masalah tersebut baik, dia bisa menjadikannya sebagai cara terbaik bagi obyek didik tersebut untuk mengembangkannya. Dan jika masalah tersebut buruk, dia bisa memilih cara terbaik untuk menyelesaikannya. Dia juga bisa menganalisis apa yang relevan dan tidak dengan obyek didiknya. Dia juga bisa memahami emosi jiwanya dengan melihat raut mukanya. Juga bisa memahami perbedaan-perbedaan pribadi di antara mereka yang begitu rumit. Sebab, tugasnya adalah menyelami relung jiwanya melalui perbedaan-perbedaan tersebut, atau memanfaatkannya dengan maksimal untuk mengarahkan tiap individu pada hal-hal yang bisa diraihnya.
Rasulullah saw sebagai utusan
Allah swt telah dihujani oleh Allah dengan sifat kecerdasan sebagai fitrah asal
beliau. Seluruh analisis yang menganalisis kepribadian Rasulullah saw dan para
ulama ushuluddin telah sepakat bahwa Rasulullah saw secara pribadi, serta
Rasul-rasul yang lain mempunyai sifat cerdas.
Keempat, Tawadhu
Seorang pendidik harus bersikap tawadhu kepada obyek didiknya. Sebab, kesombongannya hanya akan menambah jarak antara dirinya dengan obyek didiknya. Dan, ketika jarak tersebut semakin renggang, maka pengaruhnya akan hilang.
Rasulullah saw – sebagai penghulu para pendidik – adalah orang yang paling tawadhu, hingga begitu tawadhunya sampai ketika beliau bertemu anak-anak, beliaulah yang terlebih dulu mengucapkan salam kepada mereka. Hingga ketika salah seorang budak perempuan Madinah meraih tangan Rasulullah saw, dia pun bisa menggapainya dengan sesuka hatinya. Bahkan, ketika beliau bertemu seorang lelaki, beliau pun menyalaminya, dan tidak melepaskan tangan beliau sampai lelaki itu melepaskan tangannya. Beliau juga tidak memalingkan mukanya sampai lelaki itu memalingkan mukanya.
Keempat, Tawadhu
Seorang pendidik harus bersikap tawadhu kepada obyek didiknya. Sebab, kesombongannya hanya akan menambah jarak antara dirinya dengan obyek didiknya. Dan, ketika jarak tersebut semakin renggang, maka pengaruhnya akan hilang.
Rasulullah saw – sebagai penghulu para pendidik – adalah orang yang paling tawadhu, hingga begitu tawadhunya sampai ketika beliau bertemu anak-anak, beliaulah yang terlebih dulu mengucapkan salam kepada mereka. Hingga ketika salah seorang budak perempuan Madinah meraih tangan Rasulullah saw, dia pun bisa menggapainya dengan sesuka hatinya. Bahkan, ketika beliau bertemu seorang lelaki, beliau pun menyalaminya, dan tidak melepaskan tangan beliau sampai lelaki itu melepaskan tangannya. Beliau juga tidak memalingkan mukanya sampai lelaki itu memalingkan mukanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar